TEMPO.CO, Jakarta - Buruh dan pengusaha berbeda pendapat soal dampak putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat terhadap penetapan upah minimum. Buruh menilai pemerintah daerah harus mencabut penetapan upah minimum kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022, sedangkan pengusaha menganggap sebaliknya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta seluruh kepala daerah yang telah menetapkan upah minimum kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 mencabut peraturannya sebagai dampak dari UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
“Oleh karena itu, bagi gubernur yang telah menetapkan UMP dan UMK 2022 harus dicabut, direvisi, karena MK menyatakan tidak boleh dipake. Ditangguhkan. Sampai ada perbaikan paling lama 2 tahun,” ujar Said Iqbal dalam keterangannya secara virtual di Channel Youtube Bicaralah Buruh, Jumat, 26 November 2021.
Menurut Said, gubernur dan wali kota/bupati tidak boleh menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 dan Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 terkait upah minimum tahun 2021. Sebab hal tersebut dinilai sudah tidak berlaku lagi.
“Kepada bupati/wali kota tidak perlu tunduk lagi kepada surat edaran menaker, walaupun kami tahu bupati/walikota diintimidasi jika tidak mau mengikuti Surat Edaran Menaker atau PP Nomor 78. Sudah dinyatakan cacat,” tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut Said Iqbal, penetapan UMP dan UMK harus kembali pada UU No. 13 Tahun 2003 dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Poin nomor tujuh jelas, karena upah kata PP Nomor 36 adalah strategis dan keputusan MK No. 7 karena dia strategis harus ditangguhkan, maka penetapan UMP dan UMK di seluruh Indonesia adalah menggunakan undang-undang yang lama, yakni UU No. 13 tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2012,” jelasnya.